Banjir ternyata tak terbendung. Hanya tiga tahun sejak dibangun, tahun
1621, Batavia kebanjiran. Banjir juga terjadi pada 1654 dan sejak itu
terus membesar. Kota yang dirancang Coen ini perlahan ditinggalkan.
Menurut
catatan Restu Gunawan, sejarawan yang meneliti riwayat banjir Jakarta
sejak zaman kolonial hingga sekarang, pada akhir abad ke-18, terjadi
perpindahan besar-besaran penduduk Batavia ke daerah yang lebih tinggi
dan sehat di selatan, yaitu Weltevreden.
Weltevreden yang semula
hutan dan rawa-rawa lantas berkembang pesat. Apalagi 1807, Herman Willem
Daendels membangun pusat pemerintahan ibu kota koloni Belanda di Asia
di Weltevreden. Awalnya, Daendels hendak membangun pusat pemerintahan di
Semarang atau Surabaya. Karena alasan biaya, dia membangun di
Weltevreden. Pada 1830, ibu kota Hindia Belanda resmi pindah ke
Weltevreden, sekitar Lapangan Banteng saat ini.
Daerah ibu kota
itu kemudian berkembang pesat. Namun, banjir tak beranjak pergi. Menurut
Restu, 1 Januari 1892, Weltevreden kebanjiran. Seperti ditulis koran
Siang Po, banjir terjadi setelah turun hujan lebat selama delapan jam.
Curah hujan yang tercatat di Batavia saat itu 286 milimeter. Sebagai
catatan, ketinggian curah hujan saat itu jauh lebih tinggi dibandingkan
curah hujan rata-rata selama dua hari terakhir, 40-100 mm, yang
menyebabkan banjir besar di Jakarta. Artinya, faktor perubahan cuaca
boleh diabaikan sebagai penyebab banjir Jakarta.
Setahun
kemudian, banjir lebih besar melanda. Hampir seluruh kota terendam.
Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pasayuran, Kebon
Jeruk, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu terendam air hingga 1 meter.
Banjir memicu wabah kolera sehingga banyak warga meninggal.
Restu
juga mencatat, Batavia kembali kebanjiran pada 1895, 1899, 1904, dan
1909. Pemerintah kolonial dinilai gagal mengatasi banjir. Pada 19
Februari 1909, koran de Locomotief menulis berita berjudul ”Batavia
Onder Water”, pelesetan dari singkatan BOW (Burgelijke den Openbare
Werken), kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk
pengairan.
Sejak itu, banjir di Batavia terus meluas seiring
pembengkakan jumlah penduduk. Januari 1918, Batavia dilanda banjir hebat
sehingga melumpuhkan aktivitas kota selama sebulan. ”Belanda coba
mengatasi banjir dengan membangun kanal dan pintu air,” kata Restu.
Peninggalan
itu, antara lain, Kanal Banjir Kalimalang, pintu air Matraman, dan
pintu air Karet. Kanal Banjir Kalimalang, menurut Restu, bisa
menyelamatkan kawasan Menteng dan sekitarnya yang dihuni kalangan elite
Belanda dari banjir tahun 1923. Namun, permukiman pribumi di Batavia
tetap banjir.
Sistem kanal tidak bisa mengatasi banjir besar yang
melanda Batavia pada 1932 dan 1933. ”Kanal itu dibangun bukan untuk
menyelesaikan seluruh banjir Jakarta, hanya beberapa kawasan saja,
karena air pasti meluber ke daerah lain yang lebih rendah,” kata Restu.
Dari
dulu, kanal tidak memberi jaminan, apalagi Kanal Barat yang dirancang
Herman van Broeen tahun 1923 dan baru dibuat pada 1973. Proyek itu sudah
ketinggalan 50 tahun. Adapun Kanal Timur dibangun pada 2006. ”Sistem
Kanal Banjir Kalimalang yang dibuat ketika penduduk Jakarta masih di
bawah 800.000 orang saja tidak bisa mengatasi banjir. Anehnya, kita
sekarang masih mengandalkan kanal, bahkan mau membangun deep tunnel,”
ungkapnya.
Restu mengatakan, kegagalan sistem kanal yang dirintis
Belanda karena topografi Jakarta yang datar dan tingginya tingkat
sedimentasi.